Dalam
kehidupan sosial budaya, ternyata melalui tulisannya banyak para ahli
sejarah menyebut-nyebut Magetan. Demikian pula dalam kenyataanya, di
Magetan tidak sedikit dijumpai peninggalan-peninggalan pada jaman dahulu
kala, misalnya di desa Kepolorejo Kecamatan Kota Magetan, di desa
Cepoko Kecamatan Panekan. Di makam Sonokeling desa Kepolorejo Kecamatan
Kota Magetan terdapat sebuah makam yang membujur kearah utara selatan.
Batu nisan sebelah berukuran lebar 34 cm, tebal 26 cm, tinggi 66 cm yang
bahannya terbuat dari batu andezit dimana bentuk tulisannya
diperkirakan berasal dari sekitar abad 9. Di dukuh Sadon desa Cepoko
kecamatan Panekan terdapat Kalamakara dengan reruntuhan batu lainnya
yang bahannya juga dari batu andezit. Berdasarkan hal tersebut terdapat
kemungkinan dipersiapkannya pendirian bangunan candi. Pada reruntuhan
batu yang terletak dibawah makara terdapat tulisan yang tidak terbaca
karena sudah rusak, dari bentuk tulisannya dapat diperkirakan bahwa
peninggalan tersebut dari jaman Erlangga (Kediri). Reruntuhan tersebut
oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Dadung Awuk. Ditempat lain
juga terdapat peninggalan-peninggalan yang lain seperti di puncak gunung
Lawu wilayah kabupaten Magetan yaitu peninggalan yang berbentuk Pawon
Sewu (candi pawon) atau punden berundak yang diperkirakan sebagai hasil
budaya jaman Majapahit. Demikia juga di lereng gunung Lawu terdapat
peninggalan candi Sukuh dan candi Ceto. Adanya peninggalan-peninggalan
tersebut sesuai dengan perkembangan di akhir kerajaan Majapahit, dimana
waktu itu banyak rakyat dan kalangan keraton yang meninggalkan pusat
kerajaan dan pergi ke gunung-gunung dalam usaha mempertahankan
kebudayaan dan agama Hindu termasuk gunung Lawu kabupaten Magetan.
Hal
ini telah disebut pula dalam babad Demak antara lain sebagai berikut :
bahwa pangeran Gugur putera Brawijaya Pamungkas yang oleh masyarakat
Magetan disebut sunan Lawu, bermukim diwilayah gunung Lawu yang batasnya
sebelah selatan Pacitan, sebelah timur bengawan Magetan dan sebelah
utara bengawan (Solo, Ngawi, Bojonegoro).
Dalam babad Tanah Jawi terdapat bait-bait sebagai berikut :
Pupuh 3 :
Anging arine raneki
Sang dipati tan purun ngalihno
Dene patedan Sang Raji
Pandji sureng raneku
Duk sang nata aneng samawis
Mangkana Kartojudo
Ing raka tinuduh
Anggetjah mantjanegoro ponorogo, madiun lan saesragi
Kaduwang ka magetan
Pupuh 5 :
Saking nagari ing Surawesti
Wus sijaga sedja magut ing prang
Mring demang Kartojudone
Ing pranaraga ngumpul
Ka Magetan kaduwung sami
Tuwin ing Jagaraga
Pepak neng Madiun
Sampun ageng barisira
Sira demang Kartojudo budal saking
Caruban saha bala
Pupuh 8 :
Sira demang Kartojudo aglis
Budal saking Madiun negara
Mring Jagaraga kersane
Dene ingkang tinuduh
Mring kaduwang mantri kekalih
Ngabehi Tambakbojo
Lawan Wirantanu
Angirid prajurit samas
Mantri kalih ing kaduwang sampun prapti
Mandek barisira
Pupuh 9 :
Nahan gantija kawuwusa
Sri Narendra gja wagunen ing galih
Denja mijarsa warta
........................................................
Pupuh 10 :
Pambalike wong Mantjanegoro
Geger tepis iring Kartosuro
.................................................
Dari tulisan tersebut diatas yang teruntai dalam bentuk tembang dandang gulo dapat diambil kesimpulan bahwa :
Pertama : Magetan benar-benar merupakan daerah Mancanegoro Mataram
(daerah takluk kerajaan Mataram)
Kedua : Magetan adalah tempat berkumpulnya prajurit Mancanegoro untuk
menyerang pusat pemerintahan Mataram yang pada saat itu berada
dibawah pengaruh kekuasaan kompeni belanda
Ketiga : Kekacauan terus menerus yang dialami oleh pusat pemerintahan
Kerajaan Mataram yang lazim disebut sebagai perang mahkota (didalangi
oleh kompeni belanda) maka Magetan sebagai daerah mancanegoro mendapat
pengaruh langsung dari perang mahkota itu. Akibat perang tersebut banyak
leluhur Mataram yang wafat dan dimakamkan di daerah Magetan.
Dengan
data-data tersebut diatas penting sekali bahwa warisan-warisan leluhur
dan latar belakang sejarah Kabupaten Magetan itu terus dipepetri
sehingga tetap mempunyai nilai, arti dan jiwa pendorong semangat demi
suksesnya pembangunan yang semakin berkembang.

Proses Berdirinya Kabupaten Magetan
Telah kita ketahui bersama lewat buku-buku sejarah ataupun
peninggalan-peninggalan sejarah itu sendiri, bahwa daerah-daerah di
Indonesia pada umumnya dan termasuk pulau Jawa, pada jaman dahulu
dikuasai oleh kerajaan-kerajaan besar maupun kecil. Hal ini tidak
terkecuali mengenai wilayah sebelah timur gunung Lawu, yang sekarang ini
kita kenal dengan nama daerah Kabupaten Magetan.
Pada
buku sejarah Kabupaten Magetan telah disebutkan, bahwa kita tidak
mungkin mengungkapkan sejarah Magetan tanpa mengemukakan masalah
kerajaan terdekat yang berkuasa serta masalah-masalah VOC atau kompeni
Belanda. Berikut peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan lahirnya
Kabupaten Magetan :
- Wafatnya Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1645 merupakan tonggak sejarah mulai surutnya kejayaan kerajaan Mataram. Beliau sangat gigih melawan VOC, sedangkan penggantinya ialah Sultan Amangkurat I yang menduduki tahta kerajaan Mataram pada tahun 1646-1677 dimana sikapnya yang lemah terhadap VOC atau kompeni Belanda.
- Pada tahun 1646 Sultan Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan VOC, sehingga VOC dapat memperkuat diri karena bebas dari serangan Mataram, bahkan pengaruh VOC dapat leluasa masuk Mataram. Kerajaan Mataram menjadi semakin lemah, pelayaran perdagangan menjadi dibatasi tidak diperbolehkan melakukan pelayaran ke pulau Banda, Ambon dan Ternate. Peristiwa tersebut menyebabkan tumbuhnya tanggapan yang negatif terhadap Sultan Amangkurat I di kalangan keraton, terutama pihak oposisi, termasuk putranya sendiri yaitu Adipati Anom yang kelak bergelar Amangkurat II. Kejadian-kejadian di pusat pemerintahan Mataram selalu diikuti oleh daerah Mancanegara, sehingga pangeran Giri yang sangat berpengaruh di daerah pesisir utara pulau Jawa mulai bersiap-siap melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Pada masa itu seorang pangeran dari Madura yang bernama Trunojoyo sangat kecewa pada pamannya yang bernama pangeran Cakraningrat II kerena terlalu mengabaikan Madura dan hanya bersenang-senang di pusat pemerintahan Mataram. Trunojoyo melancarkan pemberontakan terhadap Mataram pada tahun 1674.
- Dalam suasana seperti itu kerabat keraton Mataram yang bernama Basah Bibit atau Basah Gondokusumo dan patih Mataram yang bernama pangeran Nrang Kusumo dituduh bersekutu dengan para ulama yang beroposisi dan menentang kebijaksanaan Sultan Amangkurat I. Atas tuduhan tersebut Basah Gondokusumo diasingkan ke Gedong Kuning Semarang selama 40 hari ditempat kediaman Kakek beliau yang bernama Basah Suryaningrat. Patih Nrang Kusumo meletakkan jabatan dan pergi bertapa ke daerah sebelah timur gunung Lawu. Beliau diganti oleh adiknya yang bernama Pangeran Nrang Boyo II. Keduanya ini putra patih Nrang Boyo (Kanjeng Gusti Susuhunan Giri IV Mataram).
- Dalam pengasingan tersebut Basah Gondokusumo mendapat nasehat dari kakeknya, yaitu Basah Suryaningrat dan kemudian beliau berdua menyingkir ke daerah sebelah timur gunung Lawu. Beliau berdua memilih tempat ini karena menerima berita bahwa di sebelah timur gunung Lawu sedang diadakan babad hutan. Babad hutan ini dilaksanakan oleh seorang yang bernama Ki Buyut Suro, yang kemudian bergelar Ki Ageng Getas. Pelaksanaan babad hutan ini atas dasar perintah Ki Ageng Mageti sebagai cikal bakal daerah tersebut.
- Untuk mendapatkan sebidang tanah untuk bermukim di sebelah timur gunung Lawu itu, Basah Suryaningrat dan Basah Gondokusumo menemui Ki Ageng Mageti di tempat kediamannya yaitu dukuh Gandong Kidul (Gandong Selatan), tempatnya di sekitar alun-alun kota Magetan dengan perantaraan Ki Ageng Getas. Hasil dari pertemuan ini Basah Suryaningrat diberi sebidang tanah disebelah utara sungai gandong, tepatnya di desa Tambran Kecamatan kota Magetan sekarang. Peristiwa ini terjadi setelah melalui suatu perdebatan yang sengit antara Ki Ageng Mageti dengan Basah Suryaningrat. Lewat perdebatan ini Ki Ageng Mageti mengetahui bahwa Basah Suryaningrat bukan saja kerabat keraton Mataram, melainkan sesepuh Mataram yang memerlukan pengayoman. Karena itu akhirnya Ki Ageng Mageti mempersembahkan seluruh tanah miliknya sebagai bukti kesetiannya terhadap Mataram. Setelah Basah Suryaningrat menerima tanah persembahan dari Ki Ageng Mageti itu sekaligus mewisuda cucunya yaitu Basah Gondokusumo menjadi penguasa di tempat baru itu dengan gelar Yosonegoro yang kemudian dikenal sebagai Bupati Yosonegoro. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Oktober 1675. Basah Suryaningrat dan Basah Gondokusumo merasa sangat besar hatinya, karena telah mendapatkan persembahan tanah yang berwujud suatu wilayah yang cukup luas dan penuh dengan perhitungan strategis, juga mendapatkan sahabat yang dapat diandalkan kesetiannya, yaitu Ki Ageng Mageti. Itulah sebabnya tanah baru itu diberi nama Magetian, dan akhirnya berubah nama menjadi Magetan.

Kabupaten Magetan Pada Zaman Belanda
Kabupaten
Magetan dibawah pimpinan Bupati Yoso Negoro mengalami kehidupan yang
tenang, semakin lama semakin ramai dan berkembang. Beliau sangat
bijaksana dan berpandangan jauh. Mataram sebagai tanah kelahirannya
tidak rela dijajah oleh kompeni Belanda. Beliau banyak mencurahkan
perhatiannya pada kesejahteraan rakyat dan keamanan daerah Magetan. Beberapa
tahun kemudian Magetan dilanda bencana alam kekurangan bahan makanan.
Sehingga banyak timbul perampokan-perampokan. Kerena meluasnya berandal
yang sulit diatasi, maka beliau memberanikan diri mohon bantuan ke pusat
pemerintahan Mataram. Dari bantuan Mataram ini akhirnya situasi bisa
diatasi dan keamanan daerah pulih kembali. Tidak lama kemudian beliau
wafat, beliau beserta istrinya dimakamkan di makam Setono Gedong di desa
Tambran Kecamatan Magetan.
Setelah Bupati Yosonegoro wafat pada tahun 1703, beliau digantikan oleh Raden Ronggo Galih Tirtokusumo. Setelah
wafat beliau dimakamkan di Durenan Kecamatan Plaosan. Setelah Ronggo
Galih maka bupati berikutnya adalah Raden Tumenggung Mangunrana. Beliau
menjadi Bupati dan berakhir pada tahun 1730. Dan setelah wafat
dimakamkan di Pacalan. Bupati selanjutnya adalah Raden Tumenggung
Citradiwirya. Beliau menjabat Bupati di Magetan selama 13 tahun dan
berakhir pada tahun 1743. Setelah R.T. Citradiwirya sebagai Bupati,
penggantinya adalah Raden Arya Sumaningrat. Beliau menjabat Bupati di
magetan selama 12 tahun, yaitu dari tahun 1743 sampai 1755.
Telah
diuraikan di muka, bahwa dengan semakin berkobarnya pemberontakan
Trunojoyo yang didukung oleh orang-orang Makasar dan pengikut Sunan Gir.
Satu demi satu daerah Mataram jatuh ketangan Trunojoyo, mulai dari
Madura, Suropringgo (Surabaya) dan seterusnya seluruh pesisir utara
pulau Jawa. Dalam waktu singkat pusat pemerintahan Mataram di Pleret
(sebelah selatan Yogyakarta) jatuh ke tangan Trunojoyo pada tanggal 2
Juli 1677. Sultan Amangkurat I melarikan diri dan wafat di Tegalwangi (Kabupaten Tegal Jawa Tengah).
Seluruh
benda-benda penting (alat upacara kerajaan) diboyong ke Jawa Timur.
Pusat kerajaan Mataram dipindahkan ke Kediri dibawah kekuasaan
Trunojoyo. Selanjutnya Sultan Amangkurat I digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat II. Dengan bantuan kompeni Belanda beliau berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo.Trunojoyo berhasil ditangkap dan dibunuh. Pusat
keraton Mataram pindah ke Kartosuro pada tahun 1681. Keadaan dalam
negeri Mataram dan pusat pemerintahan Mataram belum benar-benar
tenteram. Pada situasi ini terjadilah pemberontakan Untung Suropati
terhadap Mataram (tahun 1684) yang memusatkan tentaranya di Pasuruan.
Pemberontakan
terhadap Mataram tersebut disebabkan oleh sikap Sunan Mas (Sultan
Amangkurat III) yang sangat radikal anti kepada kompeni Belanda yang
pada waktu itu sangat besar kekuasaannya di pemerintahan Mataram.
Sikap Sunan Mas yang demikian menyebabkan beberapa bangsawan keraton
Mataram lebih setuju untuk mengangkat Pangeran Puger (Paman Sunan Mas)
sebagai raja Mataram. Niat ini dilaksanakan dengan meminta bantuan
Belanda di Semarang. Belanda menyanggupkan bantuan asal Cilacap dan
Madura sebelah Timur (daerah mancanegara Mataram) diserahkan kepada
Belanda. Pusat pemerintahan Mataram diserang oleh Belanda bersama
tentara Pangeran Puger. Sunan Mas (Amangkurat III) melarikan diri dari
Kartosuro ke Pasuruan Jawa Timur dan bergabung dengan Untung Suropati.
Pada
saat-saat transisi di pemerintahan Mataram inilah, Magetan sebagai
daerah mancanegara Mataram yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan
Jawa Tengah, berada dibawah perintah seorang penguasa daerah yang
bergelar Adipati, yakni Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat. Kanjeng
Kyai Adipati Purwodiningrat adalah putra dari Raden Tumenggung
Sasrawinata yaitu bupati Pasuruan yang wafat di Pasuruan dan keturunan
dari Panembahan Cakraningrat I yang wafat pada tahun 1630 di Kamal yang
kemudian dimakamkan di Astana Hermata Madura. Tugas beliau yang pertama
adalah mengamankan daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, lebih
tepatnya daerah Magetan jangan sampai terkena kekacauan akibat perang
saudara di pusat pemerintahan Mataram. Sebelum menjabat Bupati Magetan
beliau adalah seorang Tumenggung yang menjabat Bupati di Kertosono.
Pemerintahan
Kabupaten Magetan dibawah Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat menjadi
tentram dan wilayah pemerintahan menjadi daerah mancanegara dari
Mataram. Beliau berkesimpulan bahwa para raja Mataram didalam batinnya
tidak senang kepada Belanda, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Kebencian
terhadap kompeni dikaitkan dengan pemberontakan terus menerus terhadap
pusat pemerintahan yang berada dibawah pengaruh Belanda. Beliau anti
kepada Belanda, namun mengingat kemempuan yang ada dan melihat
kejadian-kejadian yang dialami pemerintahan Mataram, maka beliau lebih
memusatkan perhatian kepada kesejahteraan rakyat Magetan. Sampai beliau
wafat, Magetan dalam keadaan aman. Kehidupan rakyat tentram walaupun
Mataram mengalami kekisruhan akibat perang saudara yang disebut sebagai
suksesi oorlog oleh para ahli sejarah. Jenazah Kanjeng Kyai Adipati
Purwodiningrat dimakamkan di tanah bekas perdikan desa Pacalan Kecamatan
Plaosan. Sedangkan makam Nyai Mas Purwodiningrat terletak di bekas
perdikan desa Pakuncen wilayah Kertosono. Kanjeng Kyai Adipati
Purwodiningrat menurunkan dua orang putri yaitu :
- Pertama, Putri Sepuh Gusti Kanjeng Ratu Kedaton garwo dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II.
- Kedua, Putri Anom Gusti Kanjeng Ratu Anom, garwo dalem Pangeran Paku Alam yang kemudian disebut Gusti Kanjeng Paku Alam I.
Bupati
Magetan berikutnya setelah wafatnya Bupati Kanjeng Kyai Purwodiningrat
ialah Bupati Raden Tumenggung Sasradipura. Beliau wafat pada tahun 1825.
Bupati selanjutnya adalah Raden Tumenggung Sasrawinata. Pada masa
pemerintahan Bupati Raden Tumenggung Sasrawinata ini terdapat
peristiwa-peristiwa penting, yaitu :
- Pada tanggal 4 Juli 1830 atau 3 Sura tahun Je 1758, Belanda mengadakan konferensi di desa Sepreh (Ngawi), dengan mengundang semua Bupati Mancanegara wetan. Ketetapan konferensi itu bahwa semua Bupati Mancanegara wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan mulai saat itu harus tunduk kepada Belanda di Batavia.
Sejak
tahun 1830 Kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa
itu yang menjabat Bupati Magetan adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun
1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kabupaten , yaitu :
- Kabupaten Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata
- Kabupaten Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata
- Kabupaten Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura
- Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal dari Madura.
- Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya
- Kabupaten Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja), Bupatinya R.T. Yudaprawiro.
- Kabupaten Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara).
Pada
tahun 1837 Kabupaten Magetan II dan Magetan III dihapuskan dan
dijadikan satu dengan Kabupaten Magetan I. Pada tahun 1866 Kabupaten
Goranggareng dihapuskan. Pada tahun 1870 kabupaten Purwodadi dihapuskan.
Berturut-turut yang menjabat Bupati di Purwodadi adalah :
- R. Ng. Mangunprawiro alias R. Ng. Mangunnagara
- R. T. Ranadirja
- R. T. Sumodilaga
- R. T. Surakusumo
- R. M. T. Sasranegara (1856-1870)
Pada tahun 1880 Kabupaten Maospati dihapuskan.
Sesudah
Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat, yang menjabat Bupati Magetan di
antaranya adalah Raden Tumenggung Sasradipura, masih kerabat Sultan
Hamengkubuwono II dan ketentraman Magetan semakin terganggu akibat
perang saudara di pusat pemerintahan Mataram. Dan pada tahun 1742 Raden
Mas Garendi (cucu Sunan Mas) menyerbu keraton Kartosuro sehingga Paku
Buwono II meloloskan diri ke Magetan lewat Tawangmangu dan menuju
Ponorogo (Jawa Timur).
Pada
masa pangeran Mangku Bumi (saudara dari Paku Buwono II) memberontak
pemerintahan Mataram di bawah Paku Buwono II, maka dengan campur tangan
kompeni Belanda, perselisihan ini diakhiri dengan diadakannya perjanjian
Gianti pada tanggal 13 Desember 1755. Adapun hasil dari perjanjian
Gianti adalah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian yaitu :
- Mataram dengan ibu kota Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Pangeran Mangkubumi, menyatakan diri sebagai Susuhunan Ing Mataram, bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tanggal 11 Desember 1749. Dan selanjutnya daerah ini disebut Kasultanan.
- Mataram dengan ibu kota Surakarta di bawah Paku Buwono III (putra Paku Buwono II). Dan selanjutnya daerah ini disebut Kasunanan.
Sebagai
akibat perpecahan wilayah kerajaan Mataram tersebut perlu diuraikan
tentang pembagian dan susunan Mataram. Kerajaan atau negara terdiri atas
tiga bagian yaitu :
- Nagara yaitu kota atau tempat kedudukan raja.
- Nagara Agung yaitu daerah-daerah disekitar kota tempat kedudukan raja.
- Mancanegara yaitu daerah-daerah diluar Nagara dan Nagara Agung.
Bupati Mancanegara tersebut dikepalai oleh seorang Bupati Wedana (Bupati Kepala). Daerah-daerah Mancanegara Yogyakarta dan Surakarta meliputi daerah-daerah berikut :
Mancanegara Yogyakarta:
Maduin, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalangbret,
Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Bojonegoro, Gerobogan.
Mancanegara Surakarta :
Jogorogo, Ponorogo, Separuh Pacitan, Kediri, Blitar, tambah Srengat
dan Lodoso, Pace (Nganjuk-Brebek), Wirosobo (Mojoagung), Blora, Banyumas
dan Keduwang.
Sejas itu Bupati yang memerintah Kabupaten Magetan berturut-turut sebagai berikut :
- Tahun 1837 : Raden Mas Arja Kertonegoro
Sebelumnya menjabat Bupati Mojokerto. Tugas
utamanya menentramkan masyarakat Magetan dari insiden-insiden yang
terjadi. Beliau hanya menurunkan seorang putri yang menikah dengan Raden
Mas Arya Surohadiningrat II Bupati Ponorogo yang dimakamkan di
Gondoloyo (Ponorogo).
- Tahun 1862 : Raden Mas Arja Hadipati Surohadiningrat
Sebagai Bupati Magetan menggantikan Raden Mas Arja Kertonagara
- Tahun 1887 : Raden Mas Arja Kerto Hadinegoro
Adalah putra laki-laki dari Raden Mas Arya Surohadiningrat, oleh masyarakat Magetan dikenal dengan sebutan Gusti Ridder.
- Tahun 1912 : Raden Mas Arya Hadiwinoto
Beliau adalah putra dari Raden Mas Arja Kerto Hadinegoro.
- Tahun 1938 : Raden Mas Tumenggung Surjo
Beliau adalah putra menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat
Bupati Magetan beliau menjabat Su Cho Kan Bojonegoro pada tahun 1943
dan Gubernur Republik Indonesia pertama Jawa Timur mulai tahun 1945
sampai dengan tahun 1948. Beliau gugur pada tanggal 13 Nopember 1948
waktu berkobarnya pemberontakan PKI Madiun dimana dalam perjalanan
beliau dari Yogyakarta ke Surabaya, ditengah perjalanan di hutan jati
Peleng Kecamatan Kedunggalar Kab. Ngawi dihadang dan dibunuh oleh
pemberontak PKI. Para Bupati tersebut diatas dimakamkan di makam Sasono
Mulyo Sawahan Magetan.
- Tahun 1943 : Raden Mas Arja Tjokrodiprojo

Kabupaten Magetan Pada Zaman Jepang
Pecahnya perang Asia Timur Raya (Perang Dunia ke-II) ditandai oleh
penyerbuan Jepang terhadap pusat pertahanan Amerika Serikat di Pearl
Harbour tanggal 8 Desember 1941. Maka cita-cita Jepang
(Hokko I Chiu) untuk menguasai Asia Tenggara segera dilaksanakan,
termasuk negara kita Indonesia. Pada tanggal 11 Januari 1942 mendaratlah
tentara Jepang di Tarakan (Kalimantan) kemudian disusul pendaratan
terhadap pulau Jawa pada tanggal 28 Pebruari 1942 di tiga tempat, yaitu
Banten, Indramayu dan Rembang. Kemudian segera dilaksanakan pemerintahan
Jepang di Indonesia setelah tentara Belanda menyerah tanpa sarat di
Kalijati pada tanggal 9 Maret 1942.
Pada hari Selasa Kliwon tanggal 2 Pebruari 1942 jam 11.00, 27 buah
pesawat terbang Jepang menjatuhkan bom-bom di lapangan udara Maospati,
yang menyebabkan hancurnya lapangan udara tersebut dan korban manusia
berjatuhan. Walaupun pemerintahan pendudukan Jepang berjalan dalam waktu
relatif singkat yaitu kurang lebih 3,5 tahun saja,
ternyata sangat dirasakan sebagai suatu beban penderitaan yang sangat
berat. Pada masa pendudukan Jepang, Kabupaten magetan memiliki catatan
tersendiri yang hingga kini masih menggores di dalam ingatan masyarakat.
Perampasan kekayaan penduduk yang berupa perhiasan, disusul dengan
perintah menyerahkan semua senjata milik penduduk dibawah ancaman
kekerasan. Pemerintah Jepang melaksanakan pengumpulan padi dengan cara
ranjen (penjatahan) setiap hektar tanah milik rakyat dikenakan dua
kuintal gabah yang kemudian ditukar dengan kain blaco dan kain kasar
lainnya. Para pemuda dan orang yang masih kuat diwajibkan masuk
Kaibodan, Sainendan dan Heiho, kalau perlu bisa dikerahkan maju ke medan
pertempuran melawan sekutu. Setiap desa diminta mengirimkan 5 sampai 15
orang untuk diperkejakan rodi. Dan dari Magetan banyak yang
diberangkatkan ke Burma sebagai romusha.
Kehidupan
rakyat menjadi semakin sengsara. Para tawanan yang berkebangsaan
Belanda semua dikumpulkan di gedung argopeni dan girimoyo desa Plaosan.
Adapun para tawanan yang berkebangsaan Jerman dikumpulkan di hotel
Bergzicht Sarangan. Para kepala desa se karesidenan Madiun segera
diharuskan mengikuti kursus untuk di didik dalam bahasa Jepang, tata
cara pertanian, kesehatan, olah raga, baris berbaris dan menulis. Di
bidang pemerintahan, Jepang melanjutkan sebagian besar struktur
pemerintahan Belanda dan nama-nama pimpinannya diganti nama Jepang.
Pada waktu pemerintahan Jepang, Bupati yang menjabat adalah Raden Mas
Tumenggung Suryo. Selanjutnya pada hampir surutnya kekuasaan Jepang,
Bupati Magetan dijabat oleh Dokter Sajidiman. Akhirnya pada tanggal 14
Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa sarat kepada sekutu. Pemuda Magetan
yang pernah mendapatkan pendidikan dalan seinendan, keibodan, heiho dan
Peta, semua mengorganisir diri dalam kesatuan Barisan Keamanan Rakyat
(BKR) yang kemudian menjelma menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
bangkit melawan dan melakukan pelucutan senjata tentara Jepang terutama
setelah diplokamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945.
Periode Tahun 1945-1966 (Orde Lama)
Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia
berkumandang di seluruh dunia. Menandakan bangkitnya seluruh rakyat
Indonesia mengusir segala kekuasaan asing dari Indonesia. Pada tanggal
18 Agustus 1945 lahirlah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Komite
Nasional Indonesia Pusat sebagai badan pemerintah segera dibentuk dan
dilantik berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945. Tentara Jepang yang
pada saat itu masih memegang senjata lengkap, belum mau menyerahkan
kekuasaan kepada bangsa Indonesia sekalipun mereka telah mendengar bahwa
jepang telah menyerah kepada sekutu. Pada waktu itu Kabupaten Magetan
dibawah pimpinan Bupati Kepala Daerah Dokter Sajidiman bersama dengan
tokoh-tokoh masyarakat segera berusaha membentuk Komite Nasional
Indonesia Daerah Magetan. Maka pada tanggal 21 Agustus1945 terbentuklah
Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan dengan susunan, Ketua : Dokter
Sajidiman, Bupati Kepala Daerah. Wakil Ketua : Moh. Wijono, yang
anggotanya terdiri dari wakil dari instansi-instansi dan badan-badan
sosial yang ada.
Menyusul kemudian pembentukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang
beranggotakan bekas Peta, Haiho, Knil dan para pemuda pada tanggal 20
Agustus 1945 bertempat di gedung Badan Pembantu Keluarga Korban
Perjuangan (BPKKP), yang sekarang menjadi gedung Balai Pertemuan
Mahendra Magetan. Susunan BKR Magetan adalah Ketua : Soetojo, Wakil :
Lucas Kustarjo, sekretaris : Samsoeri, anggota staf : Soedijono Alimbi,
Mangkoedimoeljo, Soemadi dan Bustami. Pelindung : Dokter Sajidiman dan
Moh. Wijono. Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan selanjutnya diubah
menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) sesuai instruksi dari
pusat. Dengan susunan sebagai ketua : Dokter Sajidiman, wakil : Moh.
Wijono, dan anggotanya : Koesman BID, Umardanus, Amir dan Joewono. BPRD
dengan dipimpin oleh Bupati Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur
urusan rumah tangga daerah.
Pada permulaan bulan September 1945 dengan didahului pembicaraan antara
wakil tentara Jepang dan Republik Indonesia yang terdiri dari Bupati,
Pimpinan BKR dengan diikuti beribu laskar BKR, dilakukan pelucutan
senjata terhadap tentara Jepang di asrama DVO (sekarang Dodik Sarmil).
Pelucutan senjata berikutnya dilakukan terhadap tentara Jepang yang
berada di benteng Durenan, pusat persenjataan dan pemancar radio Jepang,
lapangan udara Maospati (sekarang Lanud Iswahyudi), di pabrik gula
Purwodadi dan di pabrik gula Rejosari. Dengan selesainya
pengambil-alihan kekuasaan Jepang, setahap demi setahap diadakan
penyempurnaan aparat pemerintahan daerah baik di kota ataupun di luar
kota. Hangatnya suasana serangan Inggris dan Gurka terhadap Surabaya
pada tanggal 10 Nopember 1945, menjilat sampai Magetan. Usaha sosial
dilakukan dalam bentuk menyediakan penginapan sementara dan menyediakan
penampungan bagi keluarga orang-orang yang datang dari Surabaya.
Disamping itu membentuk Badan Asrama Laskar Tetap dibawah pimpinan Moh.
Wijono yang tugasnya mengurus pengiriman barisan ke front Surabaya.
Peristiwa Madiun 1948.
Kalau pada masa pendudukan tentara Jepang dilarang adanya organisasi
politik, maka setelah kemerdekaan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil
Presiden No. X tahun 1945 dalam rangka menumbuhkan azas-azas demokrasi
ditanah air maka lahirlah organisasi-organisasi politik baru.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, organisasi-organisasi perjuangan yang
ada misalnya KNI, Laskar Rakyat, Pesindo, Hisbullah, BPRI dan lain-lain
semuanya hanya bertekad mempertahankan Negara Proklamasi 17 Agustus
1945 yang berfalsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Tetapi
dengan keluarnya Maklumat No. X tahun 1945, badan-badan perjuangan mulai
cenderung berafiliasi kepada organisasi politik.
Hasil perundingan Linggarjati tanggal 15 Nopember 1946 menimbulkan
sikap pro dan kontra bagi golongan partai politik di Magetan.
Pertentangan politik menjadi tajam antara partai politik pendukung
pemerintah dan partai-partai politik pihak oposisi terutama
dari PNI dan Masyumi. Pihak oposisi terhadap perjanjian Linggarjati
membentuk Banteng Republik antara lain terdiri dari PNI dan Masyumi
serta laskar yang berafiliasi antara lain BPRI (Badan Perjuangan
Republik Indonesia). Dengan hadirnya Mr. Amir Syarifudin di Magetan
disambut dengan rapat raksasa yang digerakkan oleh front Demokrasi
Rakyat (FDR), pada waktu itu terjadilah perang plakat antara FDR dengan
Banteng RI. Sejak saat itu atmosfer politik di Magetan semakin panas,
ditambah lagi kedatangan Muso di Madiun yang disambut oleh puluhan massa
komunis yang berpakaian hitam berikat kepala merah. Benar-benar
merupakan demonstrasi yang menakutkan golongan di luar komunis.
Golongan komunis mengadakan oposisi pada pemerintah. Di desa-desa selalu
disibukkan dengan daulat-mendaulat, tuntutan soal bengkok, lumbung desa
dan lain sebagainya. Perampokan timbul dimana-mana.
Pada tanggal 18 September 1948 meletuslah pemberontakan PKI Muso di
Madiun. Pada malam harinya Magetan diserbu oleh PKI Muso dengan
mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap pimpinan pemerintah dan
tokoh-tokoh lawan partainya. Antara lain yang tercatat sebagai korban
keganasan PKI adalah Bupati kepala daerah : Soedibjo, Wakil ketua BPRD :
Moh. Wijono, Patih Magetan : Soekardono, Kepala Polisi Magetan :
Ismiadi beserta anggota kepolisian Magetan, Kepala Japen Magetan :
Umardanus, Ketua PDR Magetan : Judikusumo, Komandan KDM Magetan : Kapten
Imam Hadi, Komandan Depo Magetan : Kapten Soebirin, Kepala Pendidikan
masyarakat Magetan : Sumardi, pegawai KUA Magetan : Kyai Samsoeri,
pegawai Pengadilan negeri Magetan : Murti dan lain sebagainya. Selain
itu gedung-gedung pemerintah diambil alih oleh PKI, diantaranya gedung
Arentnest, pusat pendidikan militer akademi di Sarangan, gedung tempat
para siswa latihan Opsir Polisi Militer (LOPM) di Sarangan,
gedung-gedung pusat Akademi Angkatan Laut (bekas hotel lawu) di
Sarangan. Selama kurang lebih seminggu PKI berkuasa di Magetan.
Sementara itu pemerintah Indonesia yang pada waktu itu berada di
Yogyakarta, menanggapi pemberontakan PKI Madiun dengan tegas. Pemerintah
mengirimkan satuan dari divisi Siliwangi ke Madiun untuk menindak
pemberontakan. Pada akhir September 1948 pasukan Siliwangi dibawah
pimpinan Letkol Sadikin dan Mayor Achmad Wiranatakusumah sampai di
Sarangan lewat Cemorosewu. Segera dimulai penangkapan terhadap
orang-orang PKI, orang-orang yang ditawan PKI dibebaskan. Penyerangan
pasukan Siliwangi diteruskan ke Plaosan, kemudian pasukan Siliwangi
tidak langsung ke Magetan tetapi ke Madiun lewat Ngariboyo Goranggareng.
Dan pada tanggal 26 September 1948 Magetan dapat direbut oleh TNI.
Daerah-daerah yang telah dibebaskan dibentuk Pemerintahan Militer KODM
(Komando Onder Distrik Militer) di tingkat Kecamatan dan KDM (Komando
Distrik Militer) di tingkat Kabupaten.
Agresi Belanda
Persetujuan Linggarjati tanggal 19 Maret 1947 yang antara lain
menyebutkan bahwa Belanda mengakui kekuasaan de fakto dari Republik
Indonesia di Pulau Jawa, Madura dan Sumatra. Diartikan oleh
Belanda bahwa sebelum Negara Indonesia Serikat terbentuk, Belanda yang
berdaulat di Indonesia. Persetujuan Linggarjati dilanggar dengan
terang-terangan oleh Belanda, dengan jalan mengadakan serangan sporadis
disana-sini yang mengakibatkan melemahnya Republik Indonesia dan mulai
membentuk negara boneka dimana-mana serta menjalankan politik devide et
impera. Pada tanggal 19 Desember 1948 ibukota Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Presiden, Wakil
Presiden dan beberapa mentri dan pejabat negara ditawan dan diasingkan.
Belanda mengira dengan cara ini Republik Indonesia akan berakhir. Tetapi
perlawanan terhadap Belanda tidak berakhir, perang gerilya yang
dipimpin panglima besar Sudirman terus dilakukan. Demikian pula di
Magetan, TNI dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) bersama-sama
rakyat membuat rintangan jalan dengan cara menebang pohon untuk
dirintangkan ditengah jalan, membuat lubang-lubang di jalan penting dan
menghancurkan jembatan-jembatan. Gedung-gedung yang diperkirakan akan
dapat digunakan sebagai markas Belanda dibumi hanguskan.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerbu Magetan. Belanda masuk
Magetan dari arah barat melalui Tawangmangu Jawa Tengah. Sekalipun
jembatan besar di Cemorosewu telah dihancurkan oleh TRIP, tetapi dapat
diperbaiki kembali oleh Belanda. Setelah 7 hari berada di Sarangan dan
bermarkas di hotel Bergzinct, kemudian menuju ke Magetan. Di Plaosan
pasukan Belanda dipecah manjadi dua jurusan yaitu lewat Pacalan dan
nDele terus Nitikan. Pasukan kompeni yang lewat Pacalan
menjumpai kesulitan, karena jembatan Gemah yang sudah dihancurkan dan
mendapat perlawanan sengit dari TNI dan TRIP. Terjalin kerjasama yang
kuat antara TNI dan rakyat, terbukti dengan dibuatnya dapur umum yang
bertempat dirumah Kepala Desa Slagreng. Dari arah timur, Belanda datang
lewat Madiun – Goranggareng – Sundul – Krajan – Ngariboyo. Sampai di
Ngariboyo mendapat perlawanan dari TNI dibawah pimpinan Lettu Tatang
Soetrisno. Dari arah sebelah utara Belanda datang dari jurusan Simo –
Kendal – Panekan – Magetan. Samapi di kota, Belanda tidak melihat adanya
kantor Kabupaten karena sebelumnya sudah dihancurkan oleh gerilyawan,
dan Pemerintahan Magetan pindah ke luar kota Magetan. Bupati beserta
staf hijrah ke dukuh Ngelang Baleasri kemudian ke dukuh Geger
Sambirobyong. Disini Bupati Magetan Kodrat Samadikoen dengan staf
termasuk Patih Soehardjo ditangkap Belanda waktu tengah malam.
Sekalipun pejabat-pejabat penting tertangkap Belanda, tetapi tidak
melemahkan semangat perlawanan terhadap Belanda. Perang gerilya masih
terus dilancarkan pasukan TNI dan rakyat. Pasukan Batalion Sukowati
menyebar tenaganya menjadi pasukan-pasukan kecil untuk mengadakan
perlawanan secara gerilya.Pemerintahan Militer (KDM) dibagi menjadi dua,
yang pertama di selatan sungai Gandong dibawah pimpinan Mayor
Soebiantoro dan satunya berada di utara sungai Gandong dibawah pimpinan
Letkol Anwar Santosa. Dengan tertangkapnya Mayor Soebiantoro dan
pindahnya Letkol Anwar Santosa dari Magetan maka KDM dipimpin oleh Lettu
Soedijono. Pimpinan gerilya yang tidak terlupakan oleh masyarakat
Magetan antara lain Letnan Paimin, Iskak dan Harjono. Pada awal Nopember
1949 pasukan Belanda yang ada di Parang disergap oleh kompi Letnan
Soebandono, kompi Niti Hadisekar dan kompi Kresno yang mengakibatkan
banyak korban di kedua belah pihak. Desa Sumberdodol kec. Panekan
menjadi tempat berkumpulnya para pimpinan sipil dan militer. Antara lain
Bupati Magetan dan Residen Madiun. Rumah Sakit Umum Magetan dipindahkan
pula kesana. Pasukan Batalion TNI dibawah pimpinan Komandan Kompi Moch.
Jasin pernah berada di desa Jabung.
Demikianlah selama Magetan diduduki Belanda, rakyat dan TNI saling bahu
membahu melawan musuh. Pemerintahan Kabupaten yang berada di luar kota,
demikian pula pemerintahan Kecamatan tetap berjalan dengan lancar
sekalipun harus berpindah-pindah tempat menghindari incaran Belanda.
Gerilyawan memblokade bahan makanan terutama beras dan telur dilarang
dibawa masuk ke kota. Untuk memperlancar sirkulasi ekonomi dan
perdagangan maka dikeluarkan uang kertas yang terkenal dengan nama uang
check. Belanda makin terdesak dimana-mana, di kota-kota Belanda tidak
merasa aman. Belanda tidak dapat bergerak secara leluasa karena pasukan
gerilya dapat menyerang sewaktu-waktu. Serangan paling berani yang
dilakukan besar-besaran adalah pada tanggal 1 Maret 1949 ke dalam kota
Yogyakarta dan berhasil mendudukinya selama 6 jam oleh TNI. Akhirnya
Belanda terpaksa mengambil langkah menuju meja perundingan dengan pihak
Indonesia. Tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan. Delegasi RI
dipimpin oleh Mr. Mohammad Rum sedang Belanda dipimpin oleh Dr. Van
Royen. Hasil perundingan antara lain diadakan penghentian tembak
menembak dan pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Kemudian
disusul konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus
sampai 2 Nopember 1949. Delegasi RI dipimpin oleh Dr. Moh. Hatta.
Keputusan meja bundar berisi bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI
sepenuhnya tanpa sarat kecuali Irian Barat. Di Magetan perundingan
antara Belanda dan RI berlangsung di Desa Cepoko kecamatan Panekan,
perwakilan RI dipimpin oleh Letnan Soebandono. Pada tanggal 26 Oktober
1949 tentara belanda meninggalkan kota Magetan dan pada tanggal 1
Januari 1950 pemerintahan yang berada di pedalaman kembali ke dalam
kota.
Setelah kurang lebih dua bulan Kepala Pemerintahan Magetan dijabat saat
itu oleh Kodrat Samadikun. Pada pertengahan Pebruari 1949 Bapak Kodrat
Samadikun ditangkap oleh Belanda di desa Sambirobyong dan kemudian
Belanda mendirikan pemerintahan federal di Magetan tetapi ruang geraknya
hanya terbatas di kota Magetan dan Maospati saja. Dengan adanya
penangkapan ini Pemerintah Kab. Magetan terjadi kevakuman terlebih lagi
setelah tanggal 21 April 1949, Mayor Subiyantoro selaku komandan KDM
bersama para staf ditangkap juga oleh Belanda. Dengan adanya kevakuman
itu maka Komandan STM (Sub Teritorium Militer) Madiun yang saat itu
dipimpin oleh Letkol Marjadi pada tanggal 25 April 1949 menunjuk Lettu
Sudijono sebagai komandan KDM dan beberapa perwira lainnya sebagai staf
yang semuanya berasal dari Batalion Yudo. Pada saat itu mulailah
Komandan KDM Lettu Sudijono menyusun kembali Pemerintahan Darurat Sipil
RI dengan memerintahkan saudara R. Ismail, Soewarno dan Suwito yang
masih berada di kota Magetan untuk menghadap ke markas. Setelah
menghadap, pada tanggal 23 Mei 1949, kepada mereka diberi tugas sebagai
berikut : M. Doellah sebagai Sekretaris Kabupaten, R. Ismail sebagai
Asisten Wedono di Kab. Magetan, Soewarno dan Soewito sebagai staf. Tugas
utama adalah menyusun kembali Pemerintahan Sipil dan kemudian
tersusunlah Pemerintahan Sipil sbb :
- M. Ilham sebagai Wakil Bupati
- M. Doellah sebagai Sekretaris
- R. Ismail sebagai Ass. Wedono
- M. Prawoto sebagai Kepala PDK
- Soewandi sebagai Kepala Japen
- Soemardi sebagai Ka Din Perindustrian
- Sarbini sebagai Camat Magetan
- Moestajab sebagai Camat Panekan
- Harsono sebagai Camat Plaosan
- Hardjosoewignjo sebagai Mantri Polisi
- Saekon sebagai A W Parang
- Ledoeng sebagai A W Lembeyan
- Sanoesi sebagai A W Kawedanan
- Imam Soefaat sebagai A W Bendo
- Sarman sebagai A W Takeran
- Benoe sebagai A W Maospati
- Koesoemo Hadiprodjo sebagai A W Karangrejo
- R. Abdollah sebagai A W Karangmojo
- Soerat sebagai A W Sukomoro
- Koesman sebagai A W Poncol
Dan semua dapat berhasil jika didukung oleh :
- Dukungan penuh dari rakyat
- Kerjasama yang erat antara sesama instansi terutama antara sipil dan militer, pemerintah dengan rakyat
- Jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan serta gotong-royong yang tinggi
- Kejujuran, keuletan daya juang yang tinggi dari para petugas Negara RI
Sehingga lahir semboyan :
- Lebih baik hancur lebur dari pada dijajah kembali
- Merdeka atau mati
- Jer Basuki Mawa Bea
- Rawe-rawe rantas malang-malang putung
Sebuah
peristiwa yang perlu dicatat ialah pada saat akan diadakan ulan tahun
kemerdekaan RI yang ke IV, guna melumpuhkan pemerintah Federal di kota
oleh Komandan KDM dikeluarkan instruksi agar para pegawai
yang berada di kota Magetan semua keluar karena kota Magetan akan
digempur. Instruksi tersebut ditaati oleh para pegawai Federal dan
mereka keluar menggabungkan diri pada pemerintah RI. Untuk menjamin
kelangsungan hidup aparat pemerintah RI dan untuk mengelola jalannya
pemerintahan maka pemerintah mengadakan pungutan-pungutan yang berupa
pajak innatura, retribusi pasar, dana atas ijin perusahaan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Pada saat KDM membutuhkan keuangan maka
kebutuhan tersebut dicukupi oleh KDM yang memiliki persediaan cukup.
Dengan mengikuti taktik dan strategi militer yang ditentukan oleh KDM
maka kantor Pemerintahan RI Kab. Magetan selalu berpindah-pindah tempat,
seperti :
- Dari Gemawang ke Bogang desa Ngunut
- Dari Bogang ke Blimbing desa Ngunut
- Dari Blimbing ke Wadung Parang
- Dari Wadung ke Ngariboyo Kec. Magetan pada akhir Oktober 1949
Masa Sebelum Orde Baru
Sejak tahun 1950 smpai tahun 1955 usaha pembangunan yang dilakukan
pemerintah Kabupaten Magetan di dalam usaha mengisi cita-cita
kemerdekaan tidak banyak dihasilkan. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh situasi negara yang sedang menghadapi gangguan keamanan.
Gangguan yang merintangi pembangunan di negara ini antara lain seperti
gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dibawah pimpinan Westerling
yang meletus di Bandung tahun 1950, gerakan RMS (Republik Maluku
Selatan) dibawah pimpinan Soumokil, pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di
Jawa Barat dan lain-lain. Setelah pulihnya keamanan, Pemerintah Daerah
Kab. Magetan maka sebagai Bupati ditunjuk M. Soehardjo dan sekretarisnya
R. Soemardjo. Kantor Kabupaten yang bertempat di kantor Distrik Magetan
(sekarang kantor Pembantu Bupati di jalan A. Yani No.88) dipindah dan
dipecah menjadi dua yaitu kantor Otonom di desa Tambran (sekarang jl.
Jendral Soedirman No. 2 Magetan) dan kantor Pamong Praja yang bertempat
di desa Tambran pula. Sementara itu pemerintah pusat sudah memandang
perlu untuk membentuk daerah-daerah Kabupaten yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri seperti dalam Undang-Undang No. 22
tahun 1948 tentang pemerintah daerah. Dengan Undang-Undang No. 12 tahun
1950 tentang pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan
Propinsi Jawa Timur, di Propinsi Jawa Timur ditetapkan 29 Kabupaten
termasuk Kabupaten Magetan.
Berdasarkan hasil sidang pleno BPRD (Badan Perwakilan Rakyat Daerah)
tanggal 27 Desember 1950 keanggotaan Badan Eksekutif yang hanya tinggal
dua orang dilengkapi lagi menjadi lima orang. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Sementara (DPRD-S), maka hasilnya di Magetan jumlah
anggota 22 orang. Pembangunan di Magetan yang dapat dilaksanakan sejak
tahun 1950 antara lain perbaikan jembatan dan gedung-gedung penting yang
dibumi hanguskan pada saat agresi Belanda. Pasar kota Magetan selesai
dibangun pada tahun 1951. Pada permulaan tahun 1952 dimulai pembangunan
Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Magetan yang meliputi kantor Otonom,
PUK, Kantor Pamong Praja, dilengkapi dengan ruang sidang DPRD, kantor
Bupati Kepala Daerah dan kantor DPD.
Setelah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, Pemerintah Kabupaten
Magetan segera melakukan penyuluhan dan penerangan kepada seluruh
penduduk sampai ke pelosok desa. Ini bertujuan untuk menciptakan
stabilitas dan rehabilitas pasca pemberontakan. Serta dalam usaha untuk
merombak dan meninggalkan pola pikir yang lama diganti dengan pengamalan
Pancasila. Dibidang stabilitas politik, keamanan dan ketertiban
ternyata berjalan dengan baik. Sampai pada Pemilu tahun 1971 situasi
Magetan sangat menggembirakan. Disamping itu hasil nyata bidang
pembangunan dapat diwujudkan dengan baik karena tanpa adanya gangguan
stabilitas keamanan.

Periode Tahun 1966-1998 (Orde Baru)
Lahirnya
ORDE BARU sebagai koreksi terhadap segala bentuk penyelewengan Orde
Lama yang di dominasi PKI, memulai lembaran baru dan menumbuhkan harapan
untuk mengenyam kehidupan yang lebih baik di alam Kemerdekaan
Tatanan kehidupan dikembalikan pada Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Secara nyata hal ini ditandai oleh 2 pokok tonggak bersejarah:
Pertama
: Pencanangan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)
tahap Pertama oleh Presiden Soeharto, yang dilaksanakan mulai tanggal 1
April 1969
Kedua
: Penyelenggaraan Pemilihan Umum berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971 di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena
itu pula penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Kabupaten
Daerah Tingkat II Magetan yang waktu itu (1968-1972) dipimpin oleh
Boediman sebagai Bupati Kepala Daerah lebih di titik beratkan pada
stabilitas Daerah dan penataan administrasi pemerintahan
Dalam hal ini Boediman memperkenalkan SANTIAJI SAPTA “P” yaitu :
- PAGAR, maksudnya keamanan
- PENGERTIAN PAMONG, Maksudnya agar aparat pemerintah lebih bersifat melayani rakyat, bukan lagi PANGREH yang hanya ngereh atau main kuasa
- PENERTIBAN ADMINISTRASI menuju Panca Tertib
- PENDIDIKAN
- PRODUKSI (Pertanian, Peternakan dan Pengairan)
- PKK (waktu itu Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), sebagai ganti PENTERAGA
- PAJAK (untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat ikut mensukseskan pembangunan)
Masalah
PAGAR atau keamanan pada waktu itu menjadi perhatian utama, mengingat
Kabupatem Magetan waktu itu diduga masih menjadi basis pergerakan PKI
bawah tanah sebagai Daerah COMPRO LAWU.
Kehidupan
politik secara berangsur-angsur dapat dikendalikan. Hal ini ditandai
dengan lancarnya perubahan KOKARMINDAGRI dan organisasi Karyawan
Instansi lainnya menjadi KORPRI sebagai satu-satunya wadah pembinaan
Pegawai Negeri Sipil diluar kedinasan, serta suksesnya penyelenggaraan
Pemilu pertama di zama Orde Baru tanggal 3 Juli 1971
Hasil pemilu 1971 dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Timur tanggal 1 Oktober 1971 No. Pem./618/G/80/Des.
Menghasilkan Keanggotaan DPRD Tingkat II Magetan yang berjumlah 40
orang, terdiri dari wakil GOLKAR 29 orang, PNI 5 orang, NU 4 orang,
PARMUSI 1 orang, dan PSII 1 orangPelantikan dilaksanakan pada tanggal 7
oktober 1971, dengan susunan pimpinan: Ketua NGABDAN MARGOPRAJITNO,
Wakil Ketua: LETKOL. MOERJIDAN dan TRIMO
Sektor
ekonomi juga mulai membaik, antara lain dengan pelaksanaan BIMAS GOTONG
ROYONG yang kemudian ditingkatkan menjadi BIMA YANG DISEMPURNAKAN.
Sejalan dengan itu upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
petani melalui PANCA USAHA TANI di Kabupaten Magetan oleh Ketua Satpel
Bimas R. SOEBOWO (waktu itu Patih Magetan) dipopulerkan dengan istilah
RABI GABAH (Rabuk cukup, Bibit unggul, Garapane apik, Banyune cukup,
Hamane di berantas
Sektor
ketenaga kerjaan mulai mendapat perhatian melalui Proyek Padat Karya
dan Proyek PKDI (Pemberian Kerja Darurat Istimewa), demikian pula usaha
konservasi tanah mulai digerakkan melalui Penghijauan, yang serempak
pertama kali dilakukan di Gunung Bungkuk dan Gunung Bancak (Desa Garon
dan Desa Tladan) mencapai luas penghijauan 3,031 Ha dan Pengawetan tanah
seluas 800 Ha.
Pada
tahun 1971 telah dibangun Bronkaptering dan perpipaan air bersih
sepanjang 11 km dari Sumber Jabung kecamatan Panekan ke desa Ginuk,
kecamatan Sukomoro yang sangat kekurangan air. Meskipun demikian, akibat
pola kehidupan pada masa Orla yang lebih banyak berorientasi pada
politik, kemampuan ekonomi masyarakat memang masih lemah. Pada awal
Pelita (1969) ternyata masih ada penduduk Magetan khususnya di desa-desa
yang menderita busung lapar. Keadaan demikian mendorong Pemerintah
Kabupaten Magetan bersama instansi yang terkait khususnya Dinas Sosial.
Selain itu industri gamelan Kauman kecamatan Karangrejo juga mulai
melebarkan sayap pemasaran. Dan mulai memasarkan sampai ke luar negeri.
Periode 1974 – 1979
Meskipun
dari pelaksanaan Pelita tahap I sudah menunjukkan adanya perubahan
kemajuan di beberapa segi kehidupan, namun masih belum mencapai
akselerasi dan modernisasi pembangunan. Selain itu kondisi dan situasi
daerah dipandang belum sepenuhnya aman dari gangguan sisa-sisa G30S/PKI.
Maka dalam rangka pembersihan lingkungan aparat Pemerintah sesuai
dengan Panca Krida Kabinet Pembangunan II, melalui Sub Direktorat Khusus
dibentuk tim Sreening Daerah yang menjangkau sampai tingkat desa. Dalam
rangka usaha mengakselerasikan pembangunan dinas, jawatan dan instansi
di koordinasikan sehingga dapat dirumuskan skala prioritas pembangunan.
Dalam hubungan ini sasaran pembangunan di Daerah Magetan didasarkan pada
4 faktor, yaitu :
- Kebutuhan air yang tidak merata di daerah.
- Keindahan daerah Sarangan beserta telaga pasirnya sebagai obyek wisata.
- Kerusakan hutan lindung di daerah pegunungan.
- Penanggulangan gangguan keamanan.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan diarahkan pada usaha pemeliharaan,
perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana di bidang pertanian,
perhubungan, pendidikan, agama dan pemerintahan. Selain itu prasarana
perhubungan dan fasilitas umum juga mendapat perhatian lebih, seperti
pembangunan terminal bus Maospati, pasar sayur magetan, pemugaran pasar
baru, peningkatan jalan dalam kota dan jembatan. Di bidang ekonomi penyaluran sarana produksi diperhatikan. Peserta BIMAS dikembangkan untuk menjadi INMAS. Sementara
itu amalgamasi Koperasi Tani menjadi KUD (Koperasi Unit Desa) merupakan
peningkatan BUUD. Sejalan dengan itu potensi perkebunan tanaman tebu
ditingkatkan melalui program Tebu Rakyat Intensifikasi. Hasilnya cukup
baik, dimana pabrik gula Rejosari Gorang Gareng menjadi produsen gula
terbaik. Selain itu gerakan Tabungan Nasional dan Tabungan Asuransi
Berjangka (TABANAS/TASKA) ternyata juga berkembang dengan pesat,
sehingga pertama kali diadakan penilaian, Kabupaten Magetan pada tahun
1974 dinyatakan sebagai juara Nasional dan meraih plakat TABANAS / TASKA
tingkat Nasional. Sementara itu, situasi sosial politik sudah
terkendali dan stabil. KORPRI mulai berfungsi membina Pegawai Negeri
Sipil dari semua jajaran dan unit, sehingga semakin memperkuat persatuan
dan kesatuan pegawai negeri sipil. Demikian pula organisasi-organisasi
istri karyawan yang semula bermacam-macam digabung menjadi satu nama
dalam Dharmawanita sebagai wadah pembinaan istri pegawai negeri sipil.
Dibidang Sosial Budaya perkembangannya juga cukup menggembirakan.
Program Kelurga Berencana yang pada awalnya menghadapi suara-suara
sumbang terutama jika dikaitkan dengan nilai agama dan norma tradisionil
(banyak anak banyak rejeki, makan tidak makan asal kumpul), berkat
adanya penyuluhan pada setiap kesempatan telah membuka pengertian dan
kesadaran masyarakat. Terlebih lagi setelah BKKBN Kabupaten Magetan
mengadakan penyuluhan keliling dengan perlengkapan yang lengkap dan
memadai, sehingga jumlah akseptor KB pun meningkat. Perkembangan lebih
lanjut dari program KB di Kab. Magetan semakin baik dengan terbentuknya
PKBI (Paguyuban Keluarga Berencana Indonesia) cabang Magetan. Ditambah
lagi suasana kehidupan keagamaan berkembang dengan baik. Pembangunan
sarana dan prasarana peribadatan semakin banyak dibangun di desa-desa.
Periode 1979 – 1984
Dengan hasil-hasil pembangunan yang semakin banyak dinikmati oleh
masyarakat, stabilitas daerah menjadi semakin mantap dan pertumbuhan
perekonomian masyarakat menunjukkan peningkatan. Karena
Kabupaten Magetan dapat dikatakan ”Daerah Kantong” masih banyak yang
belum mengenal Magetan. Karena itu Bupati Magetan pada saat itu yaitu
Drs. Bambang Koesbandono sering mengadakan ekspose atau release kegiatan
pembanguna di Kabupaten Magetan melalui media massa baik press, melalui
RRI ataupun TVRI. Diharapkan nama Magetan akan dikenal luas. Pada
periode ini sasaran pembangunan di titik beratkan pada pemerataan
pembanguan. Sementara itu terbentuknya BAPPEDA (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah) mengadakan perencanaan pembangunan baik di daerah
maupun sektoral dapat terkoordinasikan dengan baik. Pada saat itu Drs.
Bambang Koesbandono merumuskan adanya 6 topologi wilayah Kabupaten
Magetan yang selanjutnay ditetapkan adanya 4 wilayah pengembangan utama
ditambah dengan satu wilayah pengembangan khusus yaitu Magetan Selatan.
Ke empat wilayah pengembangan utama tersebut masing-masing :
- Wilayah pengembangan I dengan ditekankan pada pengembangan pemerintahan, pendidikan, industri, perdagangan dan transit pariwisata. Pusat pengembangan di kota Magetan, didukug wilayah kecamatan Sukomoro, Panekan, Parang.
- Wilayah pengembangan II dengan pusat pengembangan Kawedanan dan meliputi Kec. Takeran, Lembeyan dan Bendo. Arah pengembangan ditekankan pada pertanian, perdagangan dan industri.
- Wilayah pengembangan III dengan pusat Kec. Karangmojo didukung Kec. Maospati, Karangrejo dan sebagian Sukomoro dengan pengembangan pada perdagangan, pertanian, industri dan pendidikan.
- Wilayah pengembangan IV dengan pusat di Kec. Plaosan didukung Kec.Poncol. Titik berat ditekankan pengembangan pariwisata, pertanian dan ternak potong.
- Satu kawasan khusus yang sering disebut Magetan Selatan meliputi wilayah Kecamatan Parang, Poncol dan Lembeyan. Pengembangan lebih difokuskan pada usaha konservasi dan rehabilitasi tanah kritis melalui penghijauan.
Dalam
hubungan ini didasarkan pada potensi industri kerajinan kulit dan bambu
yang cukup besar maka untuk pembinaan pengrajin golongan ekonomi lemah
sekaligus upaya pemasaran maka pada tahun 1981 didirikan Lingkungan
Industri Kecil (LIK) yang berlokasi di Ringinagung.
Periode 1984 – 1988
Nama Magetan yang semakin dikenal dirasakan sebagai tantangan oleh drg. H.M. Sihabudin ketika menjabat sebagi
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Magetan. Magetan harus dikenal bukan
sekedar nama akan tetapi juga isinya, dalam arti pelaksanaan pembangunan
dan kualitas hasil prestasinya. Selain itu juga pentingnya
pemerataan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian konsep pembangunan pada saat itu adalah :
- Pembangunan Wilayah
- Pembangunan berwawasan Lingkungan
- Wilayah Pembangunan yang merata
Dan dengan program utama yang disebut TRIPANDITA yang memiliki maksud :
- Merupaka akronim dari IndusTRI pertaniAN penDIdikan dan pariwisaTA
- Juga memiliki pengertian tiga sikap / cara untuk mewujudkan cita-cita luhur :
- Pemantapan sikap mental spiritual
- Meningkatkan pendapatan
- Pengembangan sarana dan prasarana
Beberapa proyek pembangunan yang terlaksana dengan baik pada saat itu :
- Pembukaan daerah terisolir dusun Njeblok desa Genilangit Kec. Poncol
- Pengeprasan tebing dan pelebaran jalan dari Sarangan ke Cemorosewu sejauh 5 km.
- Pembangunan stadion kota Magetan
Dengan
pembangunan yang semakin pesat dari tahun ke tahun Magetan pun semakin
hidup dan semarak dan juga dikenal diluar daerah. Bergairah menyongsong
hari esok yang lebih baik, dapat menggapai cita-cita yang gemilang
melalui pembangunan di segala bidang dan merata.
http://www.magetankab.go.id/?q=sejarahkab
http://www.magetankab.go.id/?q=sejarahkab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar